TRIBUNNEWS.COM - Tulisan ini dimulai dengan mempertanyakan apakah ada Ujian Nasional (UN) di Jepang? Jawabannya tidak ada. Kalau pun pernah diadakan tahun lalu, itu pun sebenarnya sebagai dampak atas gempa bumi dan tsunami tanggal 11 Maret 2011 di Tohoku (Fukushima, Miyagi dan sekitarnya) yang membuat banyak sekali murid sekolah kehilangan sekolahnya sehingga pendidikan mereka jadi agak terlantar. Jadi itu sifatnya sementara setelah 42 tahun tak ada UN di Jepang. Targetnya pun terbatas hanya untuk kelas enam dan kelas 3 SMP. Apakah itu akan berlanjut? Tidak.
Pendidikan Jepang sama rata di mana pun di Jepang. Pada dasarnya tidak ada UN karena memang semua sekolah sudah didasari oleh fondasi kurikulum yang dijaga sangat ketat oleh Kementerian Pendidikan Sains dan Teknologi Jepang (MEXT).
Pedoman Kurikulum Pendidikan (PKP) yang disebut gakushuu shido youryou sudah ada dan semua sekolah harus mengacu kepada hal tersebut yang sudah ditentukan MEXT atau Monbusho.
PKP tersebut wajib diikuti oleh semua sekolah, baik SD, SMP, SMA, dan sekolah Kejuruan di Jepang, yang memuat isi pendidikan dan detil pengajaran setiap mata pelajaran. Dapat dikatakan seperti manual book, dan yang dulu dipakai adalah kurikulum tahun 2002. Mulai tahun 2011 diganti dengan kurikulum yang baru.
Mengapa diganti? karena kurikulum 2002 yang diberi nama yutori kyouiku, pendidikan yang sangat memberikan kelegaan sehingga mutu pendidikan murid-murid jadi menurun. Satu contoh konkret adalah menurunnya kualitas pendidikan matematika pelajar Jepang yang dulunya sering juara pertama matematika dunia, kini peringkat menurun drastis.
Pelajaran bahasa Inggris semakin ditekankan agar pelajar Jepang dapat lebih siap bergaul dengan kalangan internasional. Kebijaksanaan PM Jepang Shinzo Abe ingin sebanyak mungkin pelajar Jepang pergi belajar atau internship ke luar negeri sehingga wawasan anak muda Jepang jadi luas nantinya, wawasan internasional.
Kyoukasho atau buku pelajaran Jepang dibagikan gratis oleh pemerintah Jepang dengan berbagai perbaikan. Kalau dulu sejarah hitam Jepang dengan penjajahannya berusaha tidak dimunculkan, kini sejarah Jepang sudah berisi apa adanya, menuliskan sesuai sejarah di masa lalu.
Pendidikan di Jepang sampai dengan SMP Umumnya mendapat subsidi uang dari pemerintah sehingga pelajar dapat belajar gratis. Uang untuk anak kita bukan untuk orangtuanya. Tetapi ditransfer uang ke rekening orangtuanya, buat uang sekolah, beli makanan, transportasi sekolah dan sebagainya keperluan si anak.
Ada pula sekolah yang sampai dengan SMA memberikan subsidi kepada muridnya. Tetapi yang SMA itu tampaknya untuk warga negara Jepang. Hal subsidi ini khususnya yang SMA masih lebih kepada kebijaksanaan sekolah masing-masing. Tetapi sampai dengan SMP semua warga negara yang ada di Jepang, miskin, asal visa sah dan lapor pajak dengan benar di Jepang, anaknya sampai dengan SMP akan mendapat subsidi.
Ujian masuk sekolah di Jepang memang sangat sulit. Kalau lulus, umumnya lulus semua, kalau tidak lulus (ryunen) biasanya ada pendidikan tambahan bagi pelajar tersebut. Pada dasarnya sekolah mau meluluskan semua murid sampai dengan SMA asal si anak benar-benar belajar dengan baik sesuai petunjuk sekolah dan pendidikan yang diberikan gurunya. Jadi lulus dapat dikatakan dengan mudah. Bahkan sampai dengan S3 (tingkat Doktor) pun dapat lulus dengan mudah asal wajar-wajar saja. Namun masuk sekolah, apalagi masuk S1, S2 dan S3 sangat sulit sekali di Jepang.
Sehingga ada kegiatan Juken atau semacam bimbel (bimbingan belajar) di Jepang agar si murid bisa masuk sekolah yang diinginkan dengan baik. Orangtua murid seringkali berjuang habis-habisan untuk memasukkan anaknya ke sebuah sekolah (favorit) karena tahu masa depan akan baik. Misalnya masuk ke Universitas Tokyo (seperti Universitas Indonesia), maka masa depan si anak biasanya baik. Ini salah satu sekolah impian di Jepang.
Tapi SMA adalah tanggung jawab masing-masing sehingga di sinilah mulai persaingan dengan kegiatan JUKEN ang harafiahnya mengikuti ujian masuk, tetapi secara umum merujuk pada kegiatan belajar untuk mempersiapkan ujian masuk. Dan biasanya murid akan mengikuti pelajaran tambahan di bimbingan belajar, bimbel (Aku ingat topik ini yang membawaku ke blog Bang Hery Azwan tahun 2008 lalu).
Ada pula sistem undian atau Chuusen. Murid tertentu bisa ikut ujian dan lulus lebih awal kalau beruntung terpilih dalam undian. Logika penulis, mestinya chuusen tersebut dilakukan setelah ujian. Kalau ada yang tidak lulus, masih dimungkinkan ikut undian sehingga bisa ikut lulus, bisa masuk sekolah tersebut. Tapi di Jepang justru terbalik. Yang tidak mendapat undian, yang gagal, tentu tidak bisa ikut ujian dan tak bisa masuk sekolah yang diinginkan tersebut. Jadi di Jepang masuk sekolah bukan soal uang. Kalau benar sudah lulus ujian masuk sekolah, sudah diterima, barulah bicara uang masuk sekolah. Lain kalau di Amerika Serikat, yang penting ada uang, berapa bisa bayar, walau mahal, pasti bisa masuk sekolah.
Ulangan atau test kecil selalu dilakukan di Jepang untuk tetap memacu kualitas dan kuantitas belajar sang murid agar kualitas terjaga baik.
Inilah pendidikan Jepang yang benar-benar menekankan sumber daya manusia, menekankan pendidikan bagi manusia, terutama sampai dengan SMP semua orang tak peduli warga Negara diwajibkan sekolah dan uang dari pihak pemerintah bagi yang miskin. Sangat adil sangat membantu sekali semua yang berdomisili apalagi warga Negara Jepang sendiri sehingga tingkat pendidikan di Jepang 90% tinggi dan tidak berbeda jauh. Akibatnya, komunikasi antar manusia di Jepang berjalan dengan baik karena memiliki tingkat atau level pendidikan yang tidak berbeda jauh.
Sumber : TribunNews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar